Kamis, 07 Januari 2010

Sejarah Pemikiran dan Peradaban

PEMIKIRAN TEOLOGI AL-MATURIDIYAH



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teologi sebagai sebuah pembahasan ajaran-ajaran yang mendasar dari suatu agama dimana termasuk mengembangkan paham tentang Tuhan. Islam sebagai agama tentunya tidak lepas dari adanya teologi. Teologi diislam mempunyai keunikan tersendiri dalam pembahasannya, sehingga dalam sejarahnya yang panjang itu pembahasan tentang teologi islam sangatlah menarik, menegangkan, bahkan tidak sedikit menimbulkan perdebatan, permusuhan sampai pembunuhan atau ada juga pengkafiran.

Munculnya banyak aliran dalam teologi islam tentunya adanya keinginan memahami dasar-dasar agama islam. Dari pemahaman-pemahaman itulah yang kemudian muncul aliran-aliran yang tentunya tidak terlepas konteks yang ada. Kemunculan paham Teologi Al-Maturidiyah adalah diantara aliran-aliran dalam pembahasan teologi islam adalah salah satu fenomena diantaranya. Sebagai salah satu paham teologi dalam islam, teologi al-Maturidiyah tentunya mempunyai pendiri, ajaran atau pemikiran.

Makalah ini mencoba membahas teologi al-Maturidiyah dan untuk memperjelasnya akan dirumuskan permasalahannya berikut.

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan, maka perlu dirumuskan masalah yang akan dibahas. Pembahasan akan difokuskan Teologi Al-Maturidiyah Samarkand.

Adapun rumusan masalahnya adalah :

1. Siapa pendiri teologi al-Maturidiyah Samarkand ?

2. Bagaimana pemikiran al-Maturidiyah mengenai :

a. Sifat-sifat Tuhan

b. Keadilan Tuhan

c. Melihat Tuhan

d. Perbuatan Tuhan

e. Konsep iman

f. Akal dan wahyu

g. Perbuatan manusia

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas, yaitu :

1. Untuk mengetahui siapa pendiri teologi al-Maturidiyah Samarkand.

2. Untuk mengungkap pemikiran al-Maturidiyah mengenai :

a. Sifat-sifat Tuhan

b. Keadilan Tuhan

c. Melihat Tuhan

d. Perbuatan Tuhan

e. Konsep iman

f. Akal dan wahyu

g. Perbuatan manusia

D. Metode Penulisan

Penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan metode analisis krisis. Penulisan dengan mengumpulkan buku-buku yang relevan dengan pokok bahasan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendiri Teologi Al-Maturidiyah

Dalam teologi al-Maturidiyah ada dua cabang yaitu al-Maturidiyah Samarkand dan al-maturidiyah Bukhara. Pada makalah ini akan difokuskan pada teologi al-Maturidiyah Samarkand.

Pendiri al-Maturidiyah samarkand adalah Abu Mansur al-Maturidi. Adapun nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi. Lahir di Maturid, Uzbekistan, pada paruh kedua abad ke-9. Tentang riwayat hidupnya hanya sedikit yang membahasnya. Ia termasuk pengikut Imam Abu Hanifah yang merupakan salah satu tokoh fikih. (Nasution, 1986:76)

Sistem pemikiran teologi Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah. (Nasution, 1986:76)

B. Pemikiran Al-Maturidiyah

1. Sifat Tuhan

Mengenai sifat Tuhan al-Maturidi sependapat atau mempunyai persamaan dengan al-Asy’ari yaitu bahwa Tuhan mempunya sifat. Mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm) tetapi Yang Mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukaknlah zat-Nya. (Nasution, 1986, 69)

Menurut al-Maturidi sifat bukan zat dan bukan selain zat, tidak melekat pada zat dan tidak terpisah dari zat. (Sahrodi, 2009:115)

Dapat dismpulkan, sifat Tuhan vukaknlah zat Tuhan, melainkan zat Tuhan itu sendiri. Maksudnya antara lain Allah mengetahui bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan pengetahuannya-Nya dan Allah berkuasa bukan dengan zat-Nya, tetapi berkuasa dengan kekuasaan-Nya.

2. Keadilan Tuhan

Mengenai masalah keadilan Tuhan, al-Maturidi menekankan bahwa kemerdekaan dan kemauan ada pada manusia dan bahwa Tuhan tidak sewenang-wenang menjatuhkan hukuman, melainkan berdasarakan kemerdekaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk berbuat baik atau jahat. (Ambary, 2002:207)

Pada hakikatnya, dalam suatu perbuatan manusia ada dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan (Khalq al-Istitha’ah = menciptakan kemampuan) dan perbuatan manusia (isti’mal al-Istitha’ah = menggunakan kemampuan). (Ambary, 2002:207)

Menurut al-Maturidi bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, manusia dapat mengambil manfaat dari perbuatan-Nya. (Abdullah, 2001:58)

3. Melihat Tuhan

Hal yang sangat penting dalam teologi adalah melihat Allah di akhirat nanti sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an suraty al-Qiyamah ayat 33 yang artinya “Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. (Depag, 1989:999)

Menurut al-Maturidi, peristiwa itu benar-benar terjadi di akhirat nanti karena Allah sebagai wajibul wujud (wajib wujud-Nya) tentu dapat dilihat dengan mata kepala, bukan dengan mata hati (dalam ayat 23 kata nadhirah / melihat disebut sesudah kata wujuh atau muka dalam ayat 22, sedang muka adalah tempat mata). (Ambary, 2002:206)

Al-Maturidi sependapat dengan Asy’ari bahwa melihat Allah pada hari kiamat itu mungkin karena hari kiamat berbeda dengan dunia. Pada hari kiamat berlaku ilmu Allah yang khusus, tanpa harus bertanya bagaiman caranya. (Sahrodi, 2009:116)

Dalam pandangan al-Maturidi, melihat Allah adalah dengan mata kepala tanpa harus mempertanyakan bagaimana melihat-Nya, karena melihat Allah nantni terjadi dalam keadaan yang sesuai dengan keadaan hari kiamat sehingga manusia tidak dapat mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi.

4. Perbuatan Tuhan

Menurut pendapat al-Maturidi, perbuatna Allah itu mengandung hikmah yang ditentukan-Nya sendiri, tidak akan ada perbuatan Tuhan yang sia-sia. Tuhan Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, justru itu Dia akan berbuat yang terbaik. (Sahrodi, 2009:114). Menurut al-Maturidi, setiap perbuatan Allah mengandung hikmah dan tujuan tetapi hal itu bukanlah kewajiban Allah bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya, bukan Allah.

Tentang pengiriman rasul-rasul, al-Maturidi berpendapat, wajib bagi Allah mengirim rasul-rasul kepada manusia karena Allah menciptakan akal manusia yang mempunyai kemampuan terbatas, sehingga Allah memberikan wahyu kepada rasul-rasul-Nya sehingga manusia mengetahui mengenai Allah dan alam ghaib. (Ambari, 2002:207)

5. Konsep Iman

Maturidi menyatakan iman adalah mengetahui Tuhan dalam ketuhanan-Nya. Islam adalah mengetahui Tuhan dengan tidak bertanya bagaimana bentuk-Nya. Al-Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan sifat-Nya dan tauhid adalah mengetahui Tuhan dalam keesaan-Nya. (Sahrodi, 2009:194)

Menurut Maturidi, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena akal dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan (Nasution, 1986, 148). Menurut Maturidi tidak memasukan al-amal ke dalam iman sebagai komponen utama. (Sahrodi, 2009:194)

6. Akal dan Wahyu

Akal adalah sebagai alat berfikir, untuk mengerti, pikiran, ingatan. (Poerwadarminta, 1986:23), sedangkan wahyu berasal dari kata arab al-wahy, berarti suara, api dan kecepatan, juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab, tetapi kata itu lebih dikenal dengan arti apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi. (Nasution, 1986 b:15)

Untuk akal yang dimaksud disini adalah daya berfikir yang terdapat di dalam jiwa manusia, daya yang digambarkan dalam al-Qur’an memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.

Untuku selanjutnya mengetahui bagaimana pendapat al-Maturidiyah tentang akal dan wahyu. Karena akal dan wahyu mempunyai peranan yang saling mengisi dalam berbagai ilmu. Permasalahan yang timbul dalam teologi adalah masalah akal yang dihadapkan dengan wahyu. Ada empat hal pokok dalam kaitan akal dan wahyu :

1. Mengetahui adanya Tuhan

2. Kewajiban berterimakasih kepada Tuhan

3. Mengetahui apa yang baik dan buruk

4. Kewajiban manusia melakukan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk

Dalam pandangan al-Maturidi, akal manusia mampu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang jahat, namun kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat diketahui dengan wahyu. (Sahrodi, 2009:188)

Jadi menurut al-Maturidi, akal manusia mampu mengetahui tiga hal di atas, tetapi pada butir yang ke empat dapat diketahui dengan wahyu, disini akal lebih besar berperan dari pada wahyu.

7. Perbuatan Manusia

Mengetahui perbuatan manusia, al-Maturidi berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan yang diciptakan Allah, perbuatan itu ada dua; perbuatan Allah yang mengambil bentuk penciptaan daya (ijad) pada diri manusia. Kedua perbuatan manusia untuk mengambil bentuk pemakaian daya berdasarkan pilihan dan kebebasan. Daya itu diciptakan bersama-sama dengan perbuatannya, karenanya perbuatan manusia dikatakan ciptaan Allah lalu manusia melalui peran aktifnya menggunakan daya ciptaan Tuhan, manusia bebas memilih menggunakan daya pada dirinya atau tidak. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah perbuatan dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti majazi. (Nasution, 1986:112)

Jadi manusia berperan besar dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.


PENUTUP

Abu Mansur Al Maturidy hidup sejaman dengan Abu Hasan Al- Asy Arie, keduanya sama-sama berupaya menegaggak panji Ah Lussunnah Wal jamaah ditengah kabutn pertikaian ideologi antar sekte dan aliran Islam. Meskipun pada saat itu derah abu Mansur tidak sepanas Basrah dalam pergolakan pemikiran antar sekte, akan tetapi di Samarkand juga ada berberapa ulama yang berkiblat pada Muktazilah di Irak, merekalah yang menuai hantaman pemikiran dari al Maturidy.

Memang dalam realitanya adala perbedaan antara pemikiran Al- Asy Arie dengan Al Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan bahwa antara Al Asyarie dan Al Maturidy nyaris meiliki kesamaan kalau tidak bisa di sebut sama. Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata (al Khilâf Al Lafdziyu). Akan tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran asy- Ariyah dan Maturidiyah maka perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang terangkum dalam al- Qur’an secara rasional dan logis. Keduanya memberikan porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Qur’an dibandingkan yang lainnya. Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah wajib dengan syar’i sedangkan Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa akal berperan penting dalam konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh perbedaan keduanya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metodologi yang diterapkan Maturidiyah meletakkan akal dengan porsi besar, sedangkan asyariyah lebih berpegang pada naql, sehingga para pengkaji mengkaialm bahwa Asyariyah berada pada titik antara Muktazilah dan Ahlul Fiqh wal Hadist, adapun Maturidiah barada pada posisi antara Muktazilah dan Al Asyariyah. Maka dengan demikian ada sekte Muktazilah, Ahlul Hadist, kemudian Muktazilah Maturidiyah dan Al Muhadtsun Al Asyairah.

Sekte Maturidiyah berpegang pada akal berdasarkan petunjuk dari syariat, berbeda dengan Ahlul Fiqh dan Hadist yang berpegang teguh pada naql tidak yang lain, khawatir terjadi kesalahan pada pandangan akal sehingga dapat menyesatkan. Pendapat Ahlul Hadist ini hantam dengan hujjah dalam kitab tauhid bahwa ini merupkan gaungguan syaithan. Urgensi analisa tidak bisa diganggu gugat, bagaimana mungkin mengingkari akal yang berfungsi untuk menganalisa, sedangkan Allah menyeru hambanya untuk selalu berfikir, bertafakkur dalam melihat dan menganalisa seluruh apa yng terjadi di alam ini, maka ini adalah bukti konkret bahwa berfikir dan bertafakkur adalah sumber ilmu. Merkipun demikian maturidiah mengambil hukum berdasarkan akal yang tidak bertentangan dengan syariat,, jikalau terjadi pertentangan antar keduanya maka yang diambil adalah hukum syariat. Jelas meskipun akal dijadikan landasan berpikir dalam menentukan hukum akan tetapi semua itu harus bermuara dari nash.

Al Maturidiyah berpendapat bahwa segla sesuatu pasti memiliki value, maka akal tentu dapat membedaan mana nilai yang baik (good value) atau buruk (bad value) dari sesuatu itu. Menurut mereka materi itu ada tiga. Pertama, yang mengandung nilai baik (good value), kedua, mengandung nilai buruk (bad value) dan yang ketiga, mengandung nilai baik maupun buruk, adapun syariat menjadi penentu utama dalam menentukan bad value atau good value itu. Pendapat ini seirama dengan Muktazilah, hanya saja muktazilah condong lebih tegas, mereka menyatakan bahwa good value yang diketahui oleh akan menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan begitupun dengan bad value yang diakui akal harus ditinggalkan. Jadi yang paling menentukan di sini menurut Muktazilah adalah akal. Sedangkan Maturiyah sedikit “malu” berpendapat sejelas Muktazilah, murut mereka jika akal mengetahui bahwa sesuatu itu adalah benar salah maka yang menentukan hal itu harus dilakukan atau tidak adalah syariat bukan akal, karena akal tidakbisa menentukan syariat agama, yang menentuka syariat agama hanyalah Allah yang Maha Tahu. Pendapat maturidiah ini tentu bersebrangan dengan keyakinan Asy Ariayah, menurut mereka kebenaran itu dengan syariat berupa perintah dan keburukan itu dengan syariat berupa larangan. Kebaikan adalah suatu kebaikan karena Allah memerintah untuk melakukannya dan keburukan tetaplah menjadi keburukan karena allah melarang untuk melakukannya. Dengan demikian maka pendapat Maturidiah menengahi pendapat Muktazilah dan Al Asyariyah.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imron. 2001. Pergulatan Teologi Islam di Indonesia. Cet I. Cirebon: Gema Mandiri Pers.

Ambary, Hasan Mu’arif. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi.

Depag. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang : AL WAAH.

Nasution, Harun. 1986 a. Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.

Nasution, Harun. 1986 b. Akal dan wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press

Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sahrodi, Jamali. 2009. Pengantar Falsafah kalam. Cet I. Cirebon: CV. Pangger.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar